Sunday, February 25, 2018

Nama dan Nasib

Pada jaman dahulu, hiduplah Guru Zen yang sangat terkenal dan memiliki banyak murid. Salah seorang muridnya adalah seorang pemuda bernama Si Buruk. Si Buruk merupakan nama yang diberikan kepadanya sejak lahir oleh kedua orang tuanya.

Karena namanya yang unik, Si Buruk sering sekali dijadikan bahan tertawaan oleh teman-temannya. Dia merasa sangat terganggu setiap kali namanya dipanggil dan berkeinginan untuk mengganti namanya.

Maka ia menemui Guru Zen dan meminta sebuah nama baru dengan karakter yang lebih terhormat agar diberikan kepadanya. Guru Zen berkata, "Pergilah, anakku, jelajahi seluruh negeri ini hingga engkau menemukan sebuah nama yang engkau sukai. Setelah itu, kembalilah dan saya akan menjadikan nama itu sebagai nama barumu."

Si Buruk melakukan apa yang diminta Guru Zen dan mengambil bekal untuk perjalanannya berkelana dari desa ke desa hingga ia tiba di sebuah kota. Di kota itu seorang lelaki yang bernama Si Hidup baru saja meninggal dunia.

Si Buruk melihatnya dibaringkan di pemakaman, kemudian menanyakan siapa namanya.

"Siapakah nama lelaki yang meninggal ini?"
 
"Si Hidup," jawab salah satu pelayat.

"Apa, bisakah Si Hidup meninggal?"

"Ya, tentu saja Si Hidup bisa meninggal. Baik namanya Si Hidup ataupun Si Mati, tetap saja akan meninggal suatu saat nanti. Nama hanya panggilan untuk menandai seseorang."

Mendengar ini, Si Buruk melanjutkan perjalanan ke dalam kota, namun masih belum puas dengan namanya tersebut.

Saat itu, ada seorang gadis pelayan yang dilempar keluar dari pintu sebuah rumah, sementara ayahnya memukulinya dengan rotan karena ia tidak membawa pulang upahnya. Nama gadis itu adalah Si Kaya. 

Melihat gadis itu dipukuli, Si Buruk menanyakan apa alasannya dan mendapat jawaban bahwa hal itu dikarenakan gadis itu tidak dapat menunjukkan upahnya.

"Siapa nama gadis itu?"

"Si Kaya," jawab mereka. 

"Tidak bisakah Si Kaya mendapatkan upah satu hari walaupun tidak bekerja?"

"Dasar bodoh. Baik namanya Si Kaya maupun Si Miskin, jika tidak bekerja ya tidak akan diberikan upah. Nama hanyalah panggilan untuk menandai seseorang."

Dengan mulai lebih dapat menerima namanya sendiri, Si Buruk itu meninggalkan kota dan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang sedang tersesat.

Setelah mengetahui orang tersebut kehilangan arah, Si Buruk menanyakan siapa namanya.

"Si Pemandu," jawab orang tersebut.

"Hah? Si Pemandu kehilangan arah?"

"Dasar bodoh, baik namanya Si Pemandu maupun Si Buta Arah, bisa saja kehilangan arah dengan cara yang sama. Nama hanyalah panggilan untuk menandai seseorang."

Setelah benar-benar dapat menerima namanya, Si Buruk kembali ke tempat gurunya.

"Baiklah, nama apa yang engkau pilih?" tanya Guru Zen. 

"Guru, saya menemukan bahwa kematian pasti akan dialami oleh Si Hidup dan Si Mati suatu saat nanti, bahwa Si Kaya dan Si Miskin sama-sama bisa miskin, dan bahwa Si Pemandu dan Si Buta Arah sama-sama bisa tersesat. Sekarang, saya mengetahui bahwa sebuah nama hanyalah panggilan untuk menandai seseorang itu siapa, sama sekali tidak menentukan nasib pemiliknya. Maka saya merasa puas pada nama saya sendiri dan tidak ingin menggantinya lagi."

Guru Zen pun tersenyum dan berkata, "Kamu sudah belajar dengan sangat baik anakku."

 

Wednesday, February 21, 2018

Sang Tabib dan Sang Raja

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang menderita suatu penyakit aneh. Sudah selama dua belas tahun, raja tersebut selalu sakit kepala tanpa sebab. Beliaupun mengutus prajuritnya untuk menempelkan pengumuman sayembara berhadiah sejumlah besar emas di kota-kota besar bagi tabib yang mampu mengobati penyakitnya. Tabib dari seluruh negeripun datang silih berganti, namun tidak ada satu tabibpun yang dapat menyembuhkan penyakit sang raja.

Raja merasa kesal bercampur sedih, "Saya sebagai seorang raja seharusnya memiliki nasib yang baik, mengapa bisa menderita sakit kepala yang tak tersembuhkan ini?"

Hari demi hari berlalu penyakit rajapun terdengar hingga negeri tetangga. Di negeri tetangga tersebut ada seorang tabib desa yang memiliki kemampuan mengobati yang baik sekali. Ketika mencermati gejala-gejala penyakit sang raja, sang tabib pun ingat bahwa gurunya pernah mengajarinya mengobati penyakit yang gejalanya mirip sekali dengan gejala penyakit yang diderita sang raja. Dia yakin sekali bahwa penyakit raja tersebut dapat disembuhkan dengan ramuan tradisional dan teknik pemijatan yang pernah diajarkan oleh gurunya. Akan tetapi bahan-bahan ramuan yang dibutuhkan teramat sangat langka dan mahal, perjalanan untuk sampai ke tempat rajapun memerlukan biaya yang sangat besar.

Sang tabibpun tetap bertekad untuk mengikuti sayembara tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, hadiah yang akan diberikan oleh sang raja teramat sangat besar, bukan hanya dapat menutupi biaya yang dia keluarkan namun juga dapat membuatnya kaya raya. Kedua, ini adalah kesempatan baik baginya untuk menjadi terkenal. Walaupun mampu mengobati seribu orang di desa dia tetap hanyalah seorang tabib desa, namun jika dia berhasil mengobati sang raja dia akan menjadi seorang tabib sakti yang terkenal.

Untuk membeli bahan ramuan dan biaya perjalan, sang tabib menjual semua perhiasan istrinya dan kekurangannya dia pinjam dari teman-temannya. Begitu bahan ramuan sudah terbeli dan biaya perjalanan mencukupi, diapun memulai perjalanannya.

Setelah tiba di ibu kota, sang tabib pun menghadap sang raja dan mulai memeriksa sang raja. Diapun memberikan ramuan yang sudah disiapkannya untuk diminum oleh sang raja dan memijat kepala sang raja seperti yang pernah diajarkan oleh gurunya. Setelah beberapa hari, sakit kepala sang raja pun berkurang drastis dan berangsur-angsur membaik. Rajapun merasa teramat senang dan menjamu sang tabib dengan makanan dan minuman yang enak-enak dan sang tabib dipersilakan untuk tinggal di istana berapa lamapun yang dia mau sebelum kembali ke desanya.

Setelah beberapa bulan, penyakit sang rajapun sembuh total. Namun sang tabib menaruh curiga bahwa sang raja mengingkari janjinya, karena tidak pernah menyinggung sedikitpun mengenai hadiah yang pernah dijanjikan. Diapun gelisah dan kesal, namun juga segan dan takut jika harus menagih hadiah kepada sang raja. Akhirnya diapun putus asa menunggu dan pamit untuk pulang ke desanya. Sang rajapun memberikannya seekor kuda dan bekal untuk perjalanannya.

Ketika pamit, sang tabib memberikan ramuan lain kepada sang raja dan memberitahu bahwa ramuan tersebut harus diminum rutin agar sakit kepala raja tidak kambuh lagi. Sang tabib berpesan bahwa ramuan tersebut akan memberikan efek samping namun tetap harus diminum selama satu bulan. Sang rajapun menyanggupinya.

Selama perjalanan pulang, sang tabib terus mencaci maki sang raja, namun terkadang tersenyum puas ketika mengingat bahwa dia berhasil membalas dendam dengan membuat sang raja menderita selama satu bulan, karena sesungguhnya ramuan yang dia berikan ketika pamit adalah obat pencahar.

Ketika tiba dirumahnya, sang tabib kaget karena rumah kecilnya sekarang berubah menjadi rumah besar dan mewah. Istrinya pun menghampirinya dan mengatakan bahwa raja dari negeri tetangga mengirimkan pasukan untuk membangun rumah mewah tersebut dan juga memberikan sejumlah besar emas. Hadiah sayembara dikirimkan langsung ke rumah sang tabib dengan pertimbangan agar sang tabib tidak dirampok di tengah jalan dan dapat pulang dengan selamat.

Sang tabibpun sangat menyesal karena telah berprasangka buruk dan berbuat jahat kepada sang raja.