Pada jaman dahulu, hiduplah Guru Zen yang sangat terkenal dan memiliki banyak murid. Salah
seorang muridnya adalah seorang pemuda bernama Si Buruk. Si Buruk merupakan nama yang diberikan kepadanya sejak lahir oleh kedua orang tuanya.
Karena namanya yang unik, Si Buruk sering sekali dijadikan bahan tertawaan oleh teman-temannya. Dia merasa sangat terganggu setiap kali namanya dipanggil dan berkeinginan untuk mengganti namanya.
Maka ia menemui Guru Zen dan meminta sebuah nama baru dengan karakter yang lebih terhormat agar diberikan kepadanya. Guru Zen berkata, "Pergilah, anakku, jelajahi seluruh negeri ini hingga engkau menemukan sebuah nama yang engkau sukai. Setelah itu, kembalilah dan saya akan menjadikan nama itu sebagai nama barumu."
Si Buruk melakukan apa yang diminta Guru Zen dan mengambil bekal untuk
perjalanannya berkelana dari desa ke desa hingga ia tiba di sebuah kota.
Di kota itu seorang lelaki yang bernama Si Hidup baru saja meninggal dunia.
Si Buruk melihatnya dibaringkan di pemakaman, kemudian
menanyakan siapa namanya.
"Siapakah nama lelaki yang meninggal ini?"
"Si Hidup," jawab salah satu pelayat.
"Apa, bisakah Si Hidup meninggal?"
"Ya, tentu saja Si Hidup bisa meninggal. Baik namanya Si Hidup ataupun Si Mati,
tetap saja akan meninggal suatu saat nanti. Nama hanya panggilan untuk menandai seseorang."
Mendengar ini, Si Buruk melanjutkan perjalanan ke dalam kota, namun masih belum puas dengan namanya tersebut.
Saat itu, ada seorang gadis pelayan yang dilempar keluar dari pintu
sebuah rumah, sementara ayahnya memukulinya dengan rotan karena ia tidak membawa pulang upahnya. Nama gadis itu adalah Si Kaya.
Melihat gadis itu dipukuli, Si Buruk menanyakan apa alasannya dan mendapat jawaban bahwa hal
itu dikarenakan gadis itu tidak dapat menunjukkan upahnya.
"Siapa nama gadis itu?"
"Si Kaya," jawab mereka.
"Tidak bisakah Si Kaya mendapatkan
upah satu hari walaupun tidak bekerja?"
"Dasar bodoh. Baik namanya Si Kaya maupun Si Miskin, jika tidak bekerja ya tidak akan diberikan upah. Nama hanyalah panggilan untuk menandai seseorang."
Dengan mulai lebih dapat menerima namanya sendiri, Si Buruk itu
meninggalkan kota dan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang sedang
tersesat.
Setelah mengetahui orang tersebut kehilangan arah, Si Buruk menanyakan siapa namanya.
"Si Pemandu," jawab orang
tersebut.
"Hah? Si Pemandu kehilangan arah?"
"Dasar bodoh, baik namanya Si Pemandu maupun Si Buta Arah, bisa saja kehilangan arah dengan cara yang sama. Nama hanyalah panggilan
untuk menandai seseorang."
Setelah benar-benar dapat menerima namanya, Si Buruk kembali ke tempat gurunya.
"Baiklah, nama apa yang engkau pilih?" tanya Guru Zen.
"Guru, saya menemukan bahwa kematian pasti akan dialami oleh Si Hidup
dan Si Mati suatu saat nanti, bahwa Si Kaya dan Si Miskin sama-sama
bisa miskin, dan bahwa Si Pemandu dan Si Buta Arah sama-sama bisa tersesat. Sekarang, saya mengetahui bahwa sebuah nama hanyalah panggilan untuk menandai
seseorang itu siapa, sama sekali tidak menentukan nasib pemiliknya. Maka
saya merasa puas pada nama saya sendiri dan tidak ingin menggantinya
lagi."
Guru Zen pun tersenyum dan berkata, "Kamu sudah belajar dengan sangat baik anakku."