Sunday, May 27, 2018

Dua Apel

Seorang biksu muda mempunyai dua apel yang diberikan oleh penduduk desa kepadanya. Teman si biksu muda yang sedang kelaparan meminta satu dari dua apel tersebut untuk dirinya. Si biksu muda mengambil salah satu apel dan menggigitnya, kemudian mengambil apel satunya dan menggigitnya juga.

Teman si biksu muda merasa sedih dan kecewa sekali pada si biksu muda. Setelah berteman baik sekian lama, dia tak menyangka si biksu muda begitu kikir tidak mau berbagi dengannya, padahal dia sedang kelaparan dan si biksu muda punya dua apel.

Tak lama kemudian, si biksu muda memberikan salah satu apel kepadanya dan berkata, "Dari kedua apel ini, yang ini yang lebih manis. Yang lebih manis ini untukmu."

Menyelamatkan Kehidupan

Pada suatu sore, dua orang pangeran yang baru selesai latihan memanah melihat sekawanan burung belibis dalam perjalanan pulang mereka ke istana. Pangeran tertua langsung membidikkan panahnya dan berhasil menjatuhkan seekor belibis.

Pangeran tertua dan pangeran muda berlari ke tempat belibis tersebut jatuh. Pangeran muda tiba terlebih dahulu dan ternyata belibis tersebut masih hidup. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, pangeran muda mencabut anak panah yang menancap di sayap belibis tersebut, meremas-remas beberapa helai daun obat yang ditemukan di dekat sana, dan membalurkannya ke sayap belibis yang terluka.

Pangeran tertua meminta belibis tersebut diserahkan kepadanya karena dia yang memanahnya jatuh. Namun pangeran muda menolak menyerahkan belibis tersebut dan berkata, "Tidak, belibis ini tidak akan aku serahkan padamu. Jikalau belibis ini mati maka benar dia milikmu, namun belibis ini hidup karena aku yang menolongnya, maka dia adalah milikku."

Pangeran tertua tetap menuntut belibis tersebut diserahkan padanya dan pangeran muda tetap teguh pada pendiriannya dan tak mau menyerahkannya. Atas usul pangeran muda, mereka pun menghadap raja dan memohon agar raja dapat memberikan putusan yang adil atas persoalan tersebut.

Setelah mendengar penjelasan dari kedua belah pihak, raja pun memberikan keputusan sebagai berikut: "Hidup adalah milik mereka yang mencoba menyelamatkannya, hidup tidak mungkin menjadi milik mereka yang mencoba menghancurkannya. Maka sudah selayaknya belibis tersebut menjadi milik pangeran muda."


Burung Puyuh dan Jaring Sang Pemburu

Suatu hari seorang pemburu pergi ke hutan untuk menangkap burung puyuh. Dengan hati-hati dia mengintai kawanan burung puyuh kemudian melempar jaring ke arah mereka. Burung-burung puyuh yang kocar kacir itu tersangkut dalam jaring dan dapat ditangkap dengan mudah.

Burung-burung puyuh yang selamat mengalami ketakukan yang teramat sangat, khawatir jika keesokan harinya sang pemburu kembali untuk menangkap mereka. Seekor burung puyuh yang menjadi pemimpin kawanan berpikir keras mencari jalan keluar, dan akhirnya sebuah ide terlintas di pikirannya. 

"Pemburu ini merupakan malapetaka bagi kita. Saya mempunyai sebuah cara agar dia tidak bisa menangkap kita. Mulai sekarang, detik-detik ketika jaring dilemparkan ke arah kalian, tempatkan kepala kalian di mata jaring tersebut dan kalian harus terbang ke satu arah secara serentak beserta jaring ke tempat yang jauh yang tak terjangkau sang pemburu, setelah itu biarkan jaring itu jatuh dan rusaklah jaring tersebut. Setelah melakukan hal itu, kita dapat melarikan diri dan sang pemburu tak dapat menggunakan jaringnya yang rusak itu lagi."

"Baik", jawab burung-burung puyuh lainnya. 

Puas dengan hasil tangkapan sebelumnya, keesokan harinya sang pemburu pun kembali berburu burung puyuh.

Ketika jaring dilempar ke kawanan burung puyuh, burung-burung puyuh tersebut terbang ke satu arah secara serentak menjauh dari sang pemburu. Setelah terbang cukup jauh dari sang pemburu, mereka menjatuhkan jaring tersebut dan merusaknya. Hari itu sang pemburu pulang dengan tangan hampa dan jaring yang rusak.

Beberapa hari kemudian, ketika salah seekor burung puyuh hinggap di tanah untuk mencari makan, secara tidak sengaja dia menginjak kepala burung puyuh yang lain.

"Berkat kedua sayapku ini kamu selamat dari jaring sang pemburu, sekarang berani-beraninya kamu menginjak kepalaku" teriak burung itu dengan marah. 

"Saya tidak sengaja, janganlah kau marah-marah seperti itu. Janganlah kamu sangka kamu yang menyelamatkan diriku, justru aku dengan kedua sayapku yang kuat inilah yang mengangkat jaring dan menyelamatkan nyawamu," jawab burung puyuh yang satu.

"Kalau kamu merasa dirimu paling hebat, silakan kamu angkat jaring itu sendiri jika nanti sang pemburu datang lagi."

"Bukankah dari tadi kamu yang merasa dirimu yang paling hebat. Kamu angkat sendiri saja jaring itu."

Seminggu kemudian sang pemburu kembali berburu dengan jaring baru. Ketika jaring di lempar ke kawanan burung puyuh, burung-burung puyuh pun mencoba terbang ke satu arah secara serentak seperti sebelumnya. Namun kedua burung puyuh yang berselisih itu saling mempersilakan lawannya untuk mengangkat jaring dan alhasil kawanan burung puyuh tersebut tidak terbang cukup tinggi sehingga jaringnya masih bisa digapai sang pemburu.

Ketika sang pemburu menarik jaringnya, burung-burung puyuh lain berhasil kabur tersisa kedua burung yang berselisih itu tersangkut di jaring. Mereka berdua pun dibawa pulang oleh sang pemburu untuk dijadikan makan malam.




Tuesday, May 22, 2018

Menyeberangi Sungai

Suatu hari, Guru Zen sedang menunggu perahu di tepi sungai yang akan mengangkutnya ke seberang sungai. Seorang pertapa lewat dan dengan bangga memamerkan kekuatan ajaibnya, yaitu menyeberangi sungai bolak-balik dengan berjalan di atas air.

Guru Zen tersenyum dan berkata, "Wahai pertapa, berapa lama Anda berlatih hingga memperoleh kekuatan seperti itu?”

"Saya berlatih keras selama dua puluh lima tahun” kata pertapa itu.

Guru Zen menjawab, “Dua puluh lima tahun? Lama juga ya. Saya bisa menyeberangi sungai dengan menggunakan perahu hanya dengan satu sen!”

Monday, May 21, 2018

Sayembara Raja

Raja Min ingin puterinya yang cantik memiliki seorang suami, maka diundanglah semua pangeran dari kerajaan-kerajaan lain untuk mengikuti sayembara, yang menang akan menjadi suami puterinya.

Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Aturan menyebutkan bahwa siapa pun yang berhasil memanah mata ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, maka ia berhak mendapatkan puterinya.

Dari seratus orang pangeran yang mengikuti sayembara, ada dua pangeran yang berhasil memanah mata ikan tersebut. Untuk menentukan pemenangnya, Raja Min memberikan kepada masing-masing pangeran tersebut sebutir biji kacang polong. Mereka harus menanam biji kacang polong tersebut dengan telaten selama satu bulan. Pangeran yang mampu merawat biji kacang polong tersebut dengan paling baik yang akan menjadi pemenang sayembara.

Satu bulan pun berlalu. Kedua pangeran kembali berjumpa Raja Min untuk menunjukkan perkembangan biji kacang polong yang mereka tanam. Pangeran pertama menunjukkan satu pot berisi tanaman kacang polong yang tumbuh subur dan berbuah lebat. Sedangkan pangeran kedua menunjukkan pot berisi tanah tanpa tanaman apapun tumbuh di atasnya. Pangeran pertama tersenyum bahagia karena tanaman kacang polongnya tumbuh subur dan lebat dibandingkan milik pangeran kedua.

Tak lama kemudian Raja Min pun membacakan keputusannya.

"Pada hari ini kuputuskan bahwa pemenang sayembara ini adalah pangeran kedua."

"Wahai paduka, bagaimana mungkin pangeran kedua menjadi pemenang sayembara ini? Biji kacang polong yang paduka berikan sudah kurawat dengan baik menjadi pohon yang subur dan berbuah lebat, tidak seperti milik pangeran kedua", protes pangeran pertama.

"Biji kacang polong yang kuberikan sebelumnya telah kurebus, sehingga tidak mungkin tumbuh menjadi pohon. Keahlian memang penting, namun menjadi tidak bermakna jika tidak disertai kejujuran."

Friday, May 18, 2018

Guru Zen dan Kupu-kupu

Guru Zen dalam perjalanan pulang mengambil kayu bakar di hutan berjumpa seorang pemuda remaja yang baru saja menangkap seekor kupu-kupu di genggaman tangannya. Pemuda ini berkata kepada Guru Zen:
 
"Biksu, bagaimana kalau kita bertaruh?"
 
 "Bertaruh apa?" tanya Guru Zen.

"Coba tebak, kupu-kupu dalam genggamanku ini hidup atau mati? Kalau Anda kalah, sepikul kayu bakar itu menjadi milik saya." jawab si pemuda.

Guru Zen setuju, lalu menebak, "Kupu-kupu di dalam genggamanmu itu mati."

Si pemuda tertawa senang.

"Anda salah," sambil membuka genggamnya, kupu-kupu itu pun terbang pergi.

Guru Zen berkata, "Baiklah, kayu bakar ini milikmu." 

Setelah itu Guru Zen menaruh pikulan kayu bakarnya dan pergi dengan gembira.

Si pemuda tidak mengerti kenapa Guru Zen begitu gembira, tapi mendapat sepikul kayu bakar, dia dengan gembira membawanya pulang.

Di rumah, ayah pemuda tersebut itu bertanya soal asal muasal sepikul kayu bakar itu. Si pemuda bercerita kisah sesungguhnya.
 
Ayah pemuda tersebut marah setelah mendengar cerita si pemuda.

"Kamu mengira kamu betul menang? Kamu kalah, tapi tidak mengetahui bagaimana kalahnya."

Si pemuda bingung akan maksud ayahnya. Sang ayah memerintahkan anaknya memikul kayu bakar tersebut dan mereka berdua mengantarkan kayu itu ke vihara Guru Zen dan meminta maaf kepada Guru Zen. Guru Zen hanya mengangguk, tersenyum tanpa bilang apapun.

Dalam perjalanan pulang, si pemuda bertanya kepada ayahnya apa maksud dari ayahnya.
Sang ayah menarik napas panjang, menerangkan, "Guru Zen sengaja mengatakan bahwa kupu-kupu itu sudah mati, agar kamu yang ingin menang, tetap membiarkan kupu-kupu itu hidup. Kalau Guru Zen mengatakan bahwa kupu-kupu itu hidup, agar kamu menang, kamu pasti meremas kupu-kupu tersebut dalam genggamanmu hingga mati. Kamu mengira Guru Zen tidak mengetahui kelicikanmu? Beliau kalah sepikul kayu bakar, tapi memenangkan cinta kasih".