Friday, October 31, 2008

Keheningan

Empat murid Guru Zen berencana untuk bermeditasi dengan khidmat dengan kesepakatan untuk tidak berbicara sepatah kata pun. Menjelang malam pada hari pertama, api lilin tertiup angin dan kemudian mati.

Murid yang pertama berkata, "Oh, tidak! Lilinnya mati."

Murid yang kedua berkata, "Bukankah kita sepakat untuk tidak bicara?"

Murid yang ketiga berkata, "Mengapa kalian berdua merusak keheningan?"

Murid yang keempat tertawa dan berkata, "Haha, hanya saya saja yang tidak berbicara."

Tuesday, October 28, 2008

Melepaskan

Suatu malam, Guru Zen pulang ke biara sehabis memberikan ceramah di kota sebelah didampingi oleh seorang muridnya. Di tengah jalan, mereka bertemu seorang wanita cantik yang terkilir kakinya karena jalanan yang licin. Hari sudah larut malam dan wanita itu tidak bisa meneruskan perjalan pulang. Wanita itu pun meminta bantuan kepada Guru Zen dan muridnya. Guru Zen lalu mendekati dan menggendong wanita itu sampai ke rumahnya. Setelah itu, ia meninggalkan wanita itu dan meneruskan perjalanan.

Setibanya mereka di biara, sang murid menghampiri Guru Zen dan bertanya: "Guru, selaku seorang biksu, bukankah kita tidak boleh menyentuh wanita?"

Guru Zen berkata: "Ya, Muridku."

Kemudian murid itu bertanya sekali lagi: "Tetapi Guru, bagaimana dengan wanita yang dibantu Guru di jalan tadi?"

Guru Zen tersenyum dan berkata: "Saya telah meninggalkannya di depan rumahnya, sedangkan kamu masih membawanya sampai sekarang."

Monday, October 27, 2008

Setan dan Temannya

Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya. Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.

"Apa yang ditemukan orang itu?" tanya si teman.

"Sekeping kebenaran," jawab setan.

"Itu tidak merisaukanmu?" tanya si teman.

"Tidak," jawab setan, "Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama."

Sunday, October 26, 2008

Belum Pernah Mati

Ketika berdiskusi tentang Ajaran Buddha, Raja Yun bertanya kepada Guru Zen: "Apa yang akan terjadi pada orang yang tercerahkan sesudah meninggal dunia?"

"Bagaimana saya tahu?" jawab Guru Zen.

"Karena Anda adalah salah satu orang yang tercerahkan itu, seharusnya Anda tahu," balas sang raja.

"Benar Raja," kata Guru Zen, "tetapi saya bukan orang yang pernah mati."

Friday, October 24, 2008

Peramal

Di Kota Cang An, hiduplah seorang peramal yang terkenal seantero negeri. Ramalannya tidak pernah meleset sedikit pun. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

Suatu hari, peramal tersebut menangis tersedu-sedu. Orang-orang pun bertanya padanya, "Mengapa engkau menangis wahai peramal?".

Sang peramal, sambil terisak-isak menjawab: "Karena menurut ramalanku, anakku ini akan mati tujuh hari lagi".

Tujuh hari pun berlalu, dan ternyata anak laki-lakinya tetap segar bugar. Sang peramal pun gusar, dia takut jika reputasinya hancur. Tanpa pikir panjang ia segera pergi ke dapur, mengambil pisau, lalu menusuk anaknya, dan tentu saja anaknya mati.

Sesudah itu, ia membawa mayat anaknya ke depan umum. Orang-orang pun memujinya, "Ramalan Anda memang benar-benar tepat dan tidak diragukan lagi!” Peramal itu pun tersenyum dengan tatapan kosong.

Thursday, October 23, 2008

Sadarkah Anda?

Suatu hari Raja Yun mengundang Guru Zen ke istananya untuk berdiskusi mengenai Ajaran Buddha. Ketika Guru Zen tiba di hadapan raja, seorang pegawal kerajaan mencabut pedangnya dan menghunuskannya ke leher Guru Zen sambil berkata: "Sungguh lancang Anda tidak segera memberi hormat kepada raja. Apakah Anda Anda tidak sadar, bahwa Anda berdiri di hadapan orang yang dapat menebas Anda dalam sekejap mata?"

Guru Zen menjawab: "Lalu apakah Anda sadar, bahwa Anda berdiri di hadapan orang yang dapat Anda tebas dalam sekejap mata?"

Melihat kejadian itu, Raya Yun tersenyum dan memerintahkan pengawalnya menyiapkan tempat duduk yang terhormat untuk Guru Zen.

Wednesday, October 22, 2008

Telur

Seorang pemuda datang ke warung temannya seorang penjual telur dan berkata: "Coba terka apa yang kugenggam ini?"

"Sebutkan ciri-cirinya!" kata penjual telur.

"Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina."

"Nah, aku tahu!" kata penjual telur. "Pasti semacam kue!"

Tuesday, October 21, 2008

Takdir

Ketika terjadi pemberontakan di selatan Kerajaan Tan, seorang jenderal ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Tentara pemberontak itu jumlahnya banyak dan kejam-kejam. Walau jumlah tentaranya lebih sedikit, sang jenderal memutuskan untuk menyerang lawannya. Sang jenderal yakin akan menang, tetapi anak buahnya diliputi rasa khawatir.

Sebelum berangkat ke medan perang, mereka dikumpulkan di sebuah kuil. Setelah berdoa dengan para anak buahnya, sang jenderal mengeluarkan sebuah koin dan berkata, "Dengan koin ini, saya akan bertanya kepada dewa. Jika kepala yang keluar, kita akan menang. Jika ekor yang keluar, kita akan kalah. Takdir akan terkuak dengan sendirinya."

Ia melemparkan koin itu ke udara dan semua melihat dengan seksama sampai koin itu jatuh ke tanah. Prajurit-prajurit itu kemudian sangat senang karena yang muncul adalah 'kepala'. Sang jenderal melempar koin itu untuk kedua dan ketiga kali, dan 'kepala' muncul terus pada tiap lemparan. Prajurit-prajurit itu semuanya bersuka ria dan diliputi rasa percaya diri sehingga mereka menyerang musuhnya dengan penuh semangat dan akhirnya menang. Setelah perang usai, seorang letnan berkata pada sang jenderal, "Tiada seorang pun yang dapat mengubah takdir."

"Betul sekali," sang jenderal tersenyum sambil menunjukkan koin yang memiliki 'kepala' pada kedua sisinya.

Monday, October 20, 2008

Di Mana-mana

Suatu hari, Guru Zen diundang berceramah ke suatu desa yang jauh melewati padang yang gersang. Setelah lelah berjalan, Guru Zen beristirahat di bawah sebatang pohon sambil menjulurkan kaki. Tak lama kemudian lewatlah seorang pendeta.

"Kamu sungguh kurang ajar! Kakimu menjulur ke arah kuil suci dewa kami. Ketahuilah, dewa kami itu maha kuasa, kamu pasti akan dihukum olehnya."

"Katamu dewamu maha kuasa, masa yang maha kuasa hanya tinggal di kuil sekecil itu?" balas Guru Zen.

"Dewa kami tidak hanya ada di kuil itu, tapi juga ada di mana-mana, di seluruh alam semesta."

"Saya tidak mengerti kalau begitu. Tolong Saudara pindahkan kaki saya ke arah di mana dewa Saudara tidak berada agar saya tidak dihukum."

Pendeta itu pun terdiam dan segera pergi meninggalkan Guru Zen.