Wednesday, November 26, 2008

Mengikuti Arus

Alkisah, diceritakan ada seorang tua yang tanpa sengaja terjatuh ke dalam sungai yang berarus sangat deras. Sungai itu mengalir menuju air terjun yang terjal dan berbahaya. Orang-orang yang melihatnya menjadi sangat takut akan keselamatan orang tua itu. Namun, secara menakjubkan orang tua tersebut keluar dalam keadaan hidup dan tidak terluka dari dasar air terjun. Orang-orang pun bertanya bagaimana ia bisa selamat.

"Saya menyesuaikan diri terhadap arus air sungai, bukan arus itu yang menyesuaikan diri terhadap saya. Dengan begitu, saya memasrahkan diri mengikuti air yang membawa saya. Sambil tenggelam ke pusaran, saya keluar dari pusaran air. Begitulah akhirnya saya selamat."

Tuesday, November 25, 2008

Rumusan

Seorang pertapa pulang dari pertapaannya di hutan. "Katakanlah, seperti apakah Tuhan itu!" tanya orang-orang mendesak.

Tetapi bagaimana mungkin mengungkapkan dalam kata-kata hal yang mereka tanyakan itu? Mungkinkah mengungkapkan hal yang mutlak dalam kata-kata manusiawi?

Akhirnya ia memberi mereka sebuah rumusan, begitu kurang tepat dan serampangan, dengan harapan bahwa beberapa dari antara mereka mungkin akan tertarik untuk mencari tahu sendiri.

Mereka berpegang kuat pada rumusan itu. Mereka mengangkatnya menjadi naskah suci. Mereka memaksakannya kepada setiap orang sebagai kepercayaan suci. Mereka bersusah-payah menyebarkannya di negeri-negeri asing. Bahkan ada yang mengorbankan nyawanya demi rumusan itu.

Pertapa itu pun menjadi sedih. Mungkin lebih baik, seandainya dulu dia tidak pernah berbicara.

Saturday, November 22, 2008

Bercermin ke Dalam

Dahulu kala, ada seorang murid Guru Zen yang selalu membawa sebuah cermin ke mana pun ia pergi. Murid lain yang lebih muda melihat hal itu dan berpikir, "Kakak seperguruanku ini mungkin begitu melekat pada tampilan fisiknya sehingga ia membawa cermin ke mana pun ia pergi. Seharusnya ia tidak perlu khawatir dengan penampilan luar karena yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam."

Dipengaruhi rasa penasarannya, murid tersebut mendekati kakak seperguruannya dan bertanya, "Kakak, mengapa Anda selalu membawa cermin?" sambil berpikir bahwa kakak seperguruannya ini telah melakukan kesalahan.

Kakak seperguruannya itu kemudian mengambil cermin tersebut dari dalam tasnya dan menunjukkan cermin itu kepada adik seperguruannya. Kemudian ia berkata, "Saya menggunakan cermin ini pada saat saya menghadapi masalah. Saya melihat ke dalamnya dan cermin ini menunjukkan sumber masalah saya sekaligus solusinya."

Monday, November 17, 2008

Hilangkan Batu Hambatan Orang Lain

Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada sepasang kakak beradik yang masing-masing membawa satu buntelan untuk berkunjung ke kota lain.

Sepanjang perjalanan, buntelan yang berat itu merepotkan kedua orang bersaudara ini. Buntelan berat itu dipikul bergantian di bahu kiri dan kanan.

Tiba-tiba kakaknya berhenti di tepi jalan dan membeli sebatang bambu kemudian mengikat kedua buntelan tersebut, satu di kiri, satu di kanan. Kakak merasa lebih mudah memikul dua buntelan daripada sebuah buntelan tadi. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan perasaan bahagia.

Friday, November 14, 2008

Kebahagiaan

Seorang murid Guru Zen bertanya kepada Sang Guru.

"Guru, apakah yang sebenarnya kita cari dengan hidup sesuai Ajaran Buddha?"

"Kebahagiaan."

"Bagaimana kebahagiaan itu bisa ditemukan?"

"Bagai air yang tenang jika tidak ada usikan, kebahagiaan ditemukan jika penderitaan lenyap."

"Lalu, bagaimana penderitaan itu bisa lenyap?"

"Penderitaan lenyap jika hawa nafsu lenyap."

Thursday, November 13, 2008

Persiapan

Guru Zen diundang untuk berceramah di sebuah desa di timur. Ia tiba di desa satu hari sebelum acara dan melihat semua orang sibuk menyikat ruangan untuk mengantisipasi kedatangannya keesokan harinya. Guru Zen pun menggulung bagian tangan jubahnya dan meminta dengan sangat supaya ia diikutsertakan dalam persiapan menyambut kedatangannya itu.

Tuesday, November 11, 2008

Aku

Suatu hari, seorang pemuda penganut agama kepercayaan mengumpat sambil melempari biara kediaman Guru Zen dengan batu.

"Manusia-manusia sesat, segeralah bertobat! Kalian penyembah setan pasti masuk neraka!" sorak pemuda itu.

Melihat kejadian tersebut murid-murid Guru Zen segara memberitahu Sang Guru kekacauan yang terjadi di depan biara.

Guru Zen pun segera keluar menemui pemuda itu. Dengan tenang Guru Zen mendengar umpatan-umpatan tersebut hingga pemuda itu akhirnya kelelahan dan berhenti mengumpat.

Setelah pemuda itu tenang, Guru Zen memberikan pengertian tentang Ajaran Buddha kepada pemuda tersebut hingga pemuda tersebut mengerti. Pemuda itu pun sadar dan meminta maaf atas kelakuannya.

Murid-murid Guru Zen takjub melihat kesabaran Guru Zen menghadapi pemuda tadi.

"Guru, kami kagum kepadamu Guru. Engkau begitu sabar, tidak sedikitpun menunjukkan kemarahan ketika diumpat."

"Murid-muridku, aku bisa sabar karena aku tidak menemukan alasan untuk marah. Pemuda yang tadi tidak sama lagi dengan dia yang sekarang, dan aku yang tadi juga tidak sama lagi dengan aku yang sekarang. Tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini."

Sunday, November 9, 2008

Tergesa-gesa

Seorang pemuda pergi menemui Guru Zen untuk berguru kepadanya. Kata pemuda itu kepada Guru Zen: "Saya akan mencurahkan waktu dan pikiran saya untuk mempelajari Ajaran Buddha. Kira-kira berapa lama waktu yang saya butuhkan agar bisa mencapai pencerahan?"

Guru Zen menjawab: "Sepuluh tahun."

Pemuda itu berkata: "Saya ingin mencapai pencerahan lebih cepat dari itu. Saya akan berlatih dengan sangat keras. Bila perlu, saya hanya akan tidur tiga jam setiap harinya. Kira-kira berapa lama waktu yang saya butuhkan agar bisa mencapai pencerahan?"

Guru Zen berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Dua puluh tahun."

Friday, November 7, 2008

Rasa Sakit Hanyalah Rasa Sakit Belaka

Seorang murid Guru Zen bertanya kepada Sang Guru.

"Guru, ketika aku berlatih meditasi, aku sangat menderita dan pikiranku tidak bisa fokus. Punggungku sakit, kakiku kesemutan, perasaan tersiksa dan bosan memenuhi pikiranku. Apa aku harus melanjutkan latihan ini Guru?"

"Muridku, rasa sakit itu hanyalah rasa sakit belaka. Penderitaan yang kamu alami adalah sesuatu yang kamu tambahkan pada rasa sakit itu. Biarkanlah semua mengalir apa adanya."

Monday, November 3, 2008

Mencuri Pakaian Raja

Suatu hari ada seorang pencuri yang mengambil pakaian raja di dalam gudang pakaian raja kemudian berlari sejauh mungkin dari tempat itu.

Tak disangka, hanya dalam pelarian sebentar, si pencuri sudah tertangkap. Ia pun diadili sang raja.

"Mengapa kamu mengambil pakaianku?"

Pencuri itu menjawab, "Yang Mulia, pakaian itu adalah pakaian hamba, pemberian kakek hamba pada saya sebelum dia meninggal."

Sang raja yang cerdik hanya mengangguk pelan kemudian berkata, "Kalau begitu, jika memang itu pakaianmu, ambillah kembali dan kamu boleh memakainya sekarang."

Pencuri itu pun amat girang dan ia langsung mengambil pakaian itu dan mencoba mengenakannya. Ternyata pencuri tersebut tidak tahu cara mengenakan pakaian yang dicurinya itu dan kebingungan sehingga wajah pencuri berubah pucat karena bohongnya sudah ketahuan.

Saturday, November 1, 2008

Raksasa Di Sungai

Pendeta di desa terganggu doanya karena anak-anak ramai bermain-main di sebelah rumahnya. Untuk menghalau anak-anak itu ia berseru: "Hai, ada raksasa mengerikan di sungai di bawah sana. Bergegaslah ke sana! Nanti kamu akan melihatnya sedang menyemburkan api lewat lubang hidungnya."

Sebentar saja semua orang di kampung sudah mendengar tentang munculnya raksasa itu. Mereka cepat-cepat berlari menuju sungai. Ketika pendeta melihat hal ini, ia ikut bergabung bersama banyak orang. Sambil berlari sepanjang jalan menuju ke sungai yang enam kilometer jauhnya, ia kembali berpikir: "Memang benar, aku sendiri yang membuat cerita. Tetapi, barangkali benar juga, siapa tahu."

Friday, October 31, 2008

Keheningan

Empat murid Guru Zen berencana untuk bermeditasi dengan khidmat dengan kesepakatan untuk tidak berbicara sepatah kata pun. Menjelang malam pada hari pertama, api lilin tertiup angin dan kemudian mati.

Murid yang pertama berkata, "Oh, tidak! Lilinnya mati."

Murid yang kedua berkata, "Bukankah kita sepakat untuk tidak bicara?"

Murid yang ketiga berkata, "Mengapa kalian berdua merusak keheningan?"

Murid yang keempat tertawa dan berkata, "Haha, hanya saya saja yang tidak berbicara."

Tuesday, October 28, 2008

Melepaskan

Suatu malam, Guru Zen pulang ke biara sehabis memberikan ceramah di kota sebelah didampingi oleh seorang muridnya. Di tengah jalan, mereka bertemu seorang wanita cantik yang terkilir kakinya karena jalanan yang licin. Hari sudah larut malam dan wanita itu tidak bisa meneruskan perjalan pulang. Wanita itu pun meminta bantuan kepada Guru Zen dan muridnya. Guru Zen lalu mendekati dan menggendong wanita itu sampai ke rumahnya. Setelah itu, ia meninggalkan wanita itu dan meneruskan perjalanan.

Setibanya mereka di biara, sang murid menghampiri Guru Zen dan bertanya: "Guru, selaku seorang biksu, bukankah kita tidak boleh menyentuh wanita?"

Guru Zen berkata: "Ya, Muridku."

Kemudian murid itu bertanya sekali lagi: "Tetapi Guru, bagaimana dengan wanita yang dibantu Guru di jalan tadi?"

Guru Zen tersenyum dan berkata: "Saya telah meninggalkannya di depan rumahnya, sedangkan kamu masih membawanya sampai sekarang."

Monday, October 27, 2008

Setan dan Temannya

Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya. Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.

"Apa yang ditemukan orang itu?" tanya si teman.

"Sekeping kebenaran," jawab setan.

"Itu tidak merisaukanmu?" tanya si teman.

"Tidak," jawab setan, "Saya akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama."

Sunday, October 26, 2008

Belum Pernah Mati

Ketika berdiskusi tentang Ajaran Buddha, Raja Yun bertanya kepada Guru Zen: "Apa yang akan terjadi pada orang yang tercerahkan sesudah meninggal dunia?"

"Bagaimana saya tahu?" jawab Guru Zen.

"Karena Anda adalah salah satu orang yang tercerahkan itu, seharusnya Anda tahu," balas sang raja.

"Benar Raja," kata Guru Zen, "tetapi saya bukan orang yang pernah mati."

Friday, October 24, 2008

Peramal

Di Kota Cang An, hiduplah seorang peramal yang terkenal seantero negeri. Ramalannya tidak pernah meleset sedikit pun. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

Suatu hari, peramal tersebut menangis tersedu-sedu. Orang-orang pun bertanya padanya, "Mengapa engkau menangis wahai peramal?".

Sang peramal, sambil terisak-isak menjawab: "Karena menurut ramalanku, anakku ini akan mati tujuh hari lagi".

Tujuh hari pun berlalu, dan ternyata anak laki-lakinya tetap segar bugar. Sang peramal pun gusar, dia takut jika reputasinya hancur. Tanpa pikir panjang ia segera pergi ke dapur, mengambil pisau, lalu menusuk anaknya, dan tentu saja anaknya mati.

Sesudah itu, ia membawa mayat anaknya ke depan umum. Orang-orang pun memujinya, "Ramalan Anda memang benar-benar tepat dan tidak diragukan lagi!” Peramal itu pun tersenyum dengan tatapan kosong.

Thursday, October 23, 2008

Sadarkah Anda?

Suatu hari Raja Yun mengundang Guru Zen ke istananya untuk berdiskusi mengenai Ajaran Buddha. Ketika Guru Zen tiba di hadapan raja, seorang pegawal kerajaan mencabut pedangnya dan menghunuskannya ke leher Guru Zen sambil berkata: "Sungguh lancang Anda tidak segera memberi hormat kepada raja. Apakah Anda Anda tidak sadar, bahwa Anda berdiri di hadapan orang yang dapat menebas Anda dalam sekejap mata?"

Guru Zen menjawab: "Lalu apakah Anda sadar, bahwa Anda berdiri di hadapan orang yang dapat Anda tebas dalam sekejap mata?"

Melihat kejadian itu, Raya Yun tersenyum dan memerintahkan pengawalnya menyiapkan tempat duduk yang terhormat untuk Guru Zen.

Wednesday, October 22, 2008

Telur

Seorang pemuda datang ke warung temannya seorang penjual telur dan berkata: "Coba terka apa yang kugenggam ini?"

"Sebutkan ciri-cirinya!" kata penjual telur.

"Baik! Bentuknya sama seperti telur, ukurannya sebesar telur. Kelihatannya seperti telur, rasanya seperti telur dan baunya seperti telur. Isinya berwarna kuning dan putih, cair sebelum direbus dan menjadi kental bila dimasak. Dan asalnya dari ayam betina."

"Nah, aku tahu!" kata penjual telur. "Pasti semacam kue!"

Tuesday, October 21, 2008

Takdir

Ketika terjadi pemberontakan di selatan Kerajaan Tan, seorang jenderal ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Tentara pemberontak itu jumlahnya banyak dan kejam-kejam. Walau jumlah tentaranya lebih sedikit, sang jenderal memutuskan untuk menyerang lawannya. Sang jenderal yakin akan menang, tetapi anak buahnya diliputi rasa khawatir.

Sebelum berangkat ke medan perang, mereka dikumpulkan di sebuah kuil. Setelah berdoa dengan para anak buahnya, sang jenderal mengeluarkan sebuah koin dan berkata, "Dengan koin ini, saya akan bertanya kepada dewa. Jika kepala yang keluar, kita akan menang. Jika ekor yang keluar, kita akan kalah. Takdir akan terkuak dengan sendirinya."

Ia melemparkan koin itu ke udara dan semua melihat dengan seksama sampai koin itu jatuh ke tanah. Prajurit-prajurit itu kemudian sangat senang karena yang muncul adalah 'kepala'. Sang jenderal melempar koin itu untuk kedua dan ketiga kali, dan 'kepala' muncul terus pada tiap lemparan. Prajurit-prajurit itu semuanya bersuka ria dan diliputi rasa percaya diri sehingga mereka menyerang musuhnya dengan penuh semangat dan akhirnya menang. Setelah perang usai, seorang letnan berkata pada sang jenderal, "Tiada seorang pun yang dapat mengubah takdir."

"Betul sekali," sang jenderal tersenyum sambil menunjukkan koin yang memiliki 'kepala' pada kedua sisinya.

Monday, October 20, 2008

Di Mana-mana

Suatu hari, Guru Zen diundang berceramah ke suatu desa yang jauh melewati padang yang gersang. Setelah lelah berjalan, Guru Zen beristirahat di bawah sebatang pohon sambil menjulurkan kaki. Tak lama kemudian lewatlah seorang pendeta.

"Kamu sungguh kurang ajar! Kakimu menjulur ke arah kuil suci dewa kami. Ketahuilah, dewa kami itu maha kuasa, kamu pasti akan dihukum olehnya."

"Katamu dewamu maha kuasa, masa yang maha kuasa hanya tinggal di kuil sekecil itu?" balas Guru Zen.

"Dewa kami tidak hanya ada di kuil itu, tapi juga ada di mana-mana, di seluruh alam semesta."

"Saya tidak mengerti kalau begitu. Tolong Saudara pindahkan kaki saya ke arah di mana dewa Saudara tidak berada agar saya tidak dihukum."

Pendeta itu pun terdiam dan segera pergi meninggalkan Guru Zen.

Monday, September 29, 2008

Makanan Untuk Jubah

Suatu ketika, Guru Zen sengaja berpakaian compang camping meminta dana makanan di depan rumah seorang kaya. Orang kaya tersebut mengusirnya dan ia pulang dengan mangkuk kosong.

Tak lama kemudian, Guru Zen kembali ke sana dengan jubah gurunya. Segera ia dipersilahkan masuk dan disuguhi beragam makanan yang sangat lezat. Kemudian sang guru melepaskan jubahnya, melipatnya, dan meletakkannya di atas meja, lalu keluar dari rumah itu seraya berkata: “Makanan ini bukan untuk saya, tetapi untuk jubah ini.”

Sunday, September 28, 2008

Tidak Ada Yang Kekal

Seorang murid menemui Guru Zen dan berkata: “Guru, meditasi saya benar-benar kacau. Saya tidak bisa memfokuskan perhatian saya, pikiran saya selalu melayang. Kaki saya kesemutan, punggung saya sakit, dan saya selalu mengantuk.”

Tanpa berbelit-belit, Guru Zen berkata: “Hal itu akan berlalu.”

Sebulan kemudian, murid tersebut kembali menemui Guru Zen dan berkata: “Guru, meditasi saya sangat sukses! Pikiran saya fokus. Saya merasa tenang dan bahagia!”

Tanpa berbelit-belit, Guru Zen berkata: “Hal itu pun akan berlalu.”

Saturday, September 27, 2008

Bantulah Dirimu Sendiri

Suatu ketika, ada seorang pemuda yang sedang mengalami masalah dalam hidupnya. Ia lalu pergi ke kuil berdoa meminta bantuan kepada Dewi Kwan Im.

Ketika memasuki kuil, ia melihat seseorang sedang berdoa di depan altar Dewi Kwan Im. Wajah dan pakaian orang itu sama persis dengan patung Dewi Kwan Im di altar.

Bertanyalah pemuda itu kepadanya: “Apakah Anda Dewi Kwan Im?”

“Ya!” jawab orang itu.

“Kalau begitu, kenapa Anda berdoa kepada diri sendiri?”

Dewi Kwan Im tersenyum, lalu berkata, “Karena saya juga menghadapi masalah, dan saya tahu, hanya saya sendiri yang bisa membantu diri saya sendiri.”

Friday, September 26, 2008

Ayahku Yang Paling Hebat

Ketika berkumpul dengan teman-temannya seorang pemuda membanggakan ayahnya, “Ayahku adalah seorang pria yang sangat baik. Ia tidak pernah menyakiti orang lain, tidak pernah mencuri. Ia sangat arif dan juga budiman.”

Tak mau kalah, seorang dungu teman pemuda tersebut juga memuji-muji ayahnya.

Begini katanya, "Ayahku adalah orang yang terhormat dan suci. Ia tidak pernah melakukan tindakan asusila, bahkan tidak pernah berhubungan seks.”

Teman-teman lain yang mendengarkan orang dungu itu segera tertawa. Salah satu dari mereka kemudian bertanya, "Lalu, bagaimana kamu lahir?"

Thursday, September 25, 2008

Mengipasi Panci

Seorang laki-laki sedang membuat kue dan menungguinya sambil mengipasi panci kue yang ditaruhnya di atas tungku. Tiba-tiba datang seorang tamu, yang ternyata adalah teman lamanya yang kini menjadi saudagar kaya. Laki-laki ini pun berpikir, "Ah, aku harus menghidangkan kue yang kubuat untuk tamuku".

Kemudian ia kembali ke dapur, dan mengipasi panci yang ditaruh di atas tungku itu tadi agar dingin dan dapat diangkat. Lama ia mengipasi, panci itu tetap saja tidak menjadi dingin. Ia terus mengipasi panci itu.

Temannya yang menunggu lama di luar akhirnya menyusul ke dapur. Setelah melihat apa yang dilakukan laki-laki itu, sang saudagar berkata, "Ya ampun temanku, lihatlah apa yang kaulakukan? Bagaimana mungkin panci itu jadi dingin walau kau kipasi terus karena kau masih menaruhnya di atas tungku yang menyala?"

Wednesday, September 24, 2008

Kucing dan Ceramah

Di sebuah biara tua, hiduplah seorang Guru Agama Buddha yang bernama Tao. Di sekitar biara tersebut, hiduplah seekor kucing, yang sangat jinak kepada Guru Tao. Kucing itu selalu mengikuti ke mana saja Guru Tao pergi.

Suatu hari, ketika Guru Tao berceramah, kucing itu mengikuti Guru Tao ke dalam biara sehingga mengganggu kegiatan ceramah. Guru Tao pun memerintahkan kepada muridnya agar mengikat kucing itu di luar biara selama ia berceramah. Hal ini terjadi berulang kali.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Guru Tao telah wafat, kucing yang sama diikat di luar biara ketika ada yang berceramah. Dan, akhirnya kucing itu pun mati juga. Selepas kematian kucing tersebut, dicarilah kucing-kucing lain untuk diikat di luar biara selama ceramah. Hal ini dilakukan secara turun menurun tanpa ada seorang pun tahu hubungan antara kucing dan ceramah. Tak ada seorang pun yang mempunyai nyali untuk bertanya selain meneruskan tradisi tersebut.

Tuesday, September 23, 2008

Ajaran Inti

Seorang pemuda terpelajar menemui Guru Zen untuk berdiskusi mengenai Ajaran Buddha.

“Guru, Ajaran Buddha sangat luas dan dalam. Sebenarnya apakah inti dari Ajaran Buddha yang sesungguhnya?”

“Hentikan kejahatan. Tambah kebajikan. Sucikan hati dan pikiran. Inilah inti Ajaran Para Buddha.”

Monday, September 22, 2008

Yang Terbaik

Seorang gadis yang sudah bertunangan dengan seorang tukang sayur tiba-tiba menerima sepucuk surat dari mantan kekasihnya yang telah menjadi seorang saudagar kaya di ibu kota.

Di surat itu, dikatakan bahwa mantan kekasihnya masih mencintainya dan akan menikahinya asal dia bersedia menunggu kedatangannya.

Si gadis pun membatalkan pertunangannya.

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Mantan kekasih yang ditunggu si gadis tidak kunjung datang juga. Si gadis pun hidup dalam kesendirian, sedangkan si tukang sayur yang ditinggalkannya sudah memperoleh istri dan hidup bahagia bersama istrinya.

Setelah menunggu selama lima tahun, si gadis menerima kabar bahwa mantan kekasihnya sudah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Si gadis pun sangat tergoncang jiwanya dan hidup dalam ketidakpastian.

Melihat gadis itu, Guru Zen berkata, “Jika manusia dikuasai api nafsu, sepucuk surat pun bisa menimbulkan penderitaan yang amat panjang. Oleh karena itu, berpikirlah dengan bijaksana, jangan bebani hidup dengan harapan-harapan yang masih belum pasti.”

Sunday, September 21, 2008

Penyesalan

Suatu hari, Guru Zen diminta oleh seorang pedagang agar menasihati isterinya yang tidak mau makan sejak tiga hari yang lalu. Isterinya diliputi kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam akibat kematian anak keduanya karena sakit.

“Seandainya aku segera membawa anakku ke tabib, tentu anakku tidak akan mati. Ini semua salahku,” pikiran ini yang terus terngiang-ngiang di kepala isteri pedagang itu.

Guru Zen berkata kepada isteri pedagang itu: “Jangan kamu sesali apa yang sudah berlalu. Makanlah, agar kamu bisa tetap hidup.”

“Saya tidak bisa memaafkan diriku sendiri Guru. Saya merasa tidak layak untuk hidup,” balas isteri pedagang itu.

“Anakmu yang telah mati tidak akan hidup lagi. Tak ada gunanya kamu larut dalam penyesalan. Kamu masih mempunyai kesempatan untuk menjadi ibu yang lebih baik bagi anak-anakmu yang lain.”

Istri pedagang itu pun merenungkan kata-kata Guru Zen.

“Janganlah hidup dalam bayangan masa lalu. Hiduplah di saat ini dan lakukan apa yang terbaik yang bisa kamu lakukan saat ini.”

Saturday, September 20, 2008

Percayalah Padaku

Suatu ketika, seorang pemuda dari Desa Ta melakukan perjalanan ke Desa Mo di lereng gunung Fan untuk menghadiri pernikahan sepupunya. Di tengah perjalanan, pemuda tersebut terperosok jatuh dari tebing karena kurang berhati-hati. Sewaktu terjatuh ia berhasil meraih akar pohon yang menyembul keluar dan berpegangan padanya sehingga tidak jatuh ke dasar jurang berbatu.

Pemuda itu berusaha memanjat ke atas, namun berkali-kali gagal. Akhirnya ia mulai putus asa dan berteriak minta tolong: “Apakah ada orang di atas? Tolong saya.”

Berkali-kali pemuda itu berteriak namun tetap tidak ada jawaban. Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba terdengar suara dari atas: “Akulah dewa penguasa gunung ini. Apa yang engkau kehendaki dariku wahai manusia?”

“Apakah engkau benar-benar dewa penguasa gunung ini? Bisakah engkau menolong saya agar tidak jatuh ke dasar jurang?” tanya pemuda itu.

“Wahai manusia, akulah satu-satunya dewa penguasa gunung ini. Aku tidak akan menolongmu jika engkau masih meragukanku,” jawab pemilik suara.

Pemuda itu berpikir, “Suara itu tampak berwibawa, kelihatannya pemilik suara itu memang benar-benar seorang dewa.”

Pemuda itu akhirnya percaya bahwa suara itu adalah suara dewa.

“Aku percaya padamu wahai dewa. Tolonglah aku,” mohon pemuda itu.

“Jika engkau percaya padaku, engkau harus menuruti setiap perintahku,” balas dewa.

“Baik dewa. Aku akan menuruti setiap perintahmu,” ujar pemuda itu dengan penuh keyakinan.

“Lepaskanlah peganganmu. Kamu tidak akan jatuh karena aku akan membuatmu melayang. Percayalah padaku,” perintah pemilik suara.

Tanpa pikir panjang, pemuda itu melepaskan pegangannya dan langsung jatuh ke dasar jurang. Ternyata suara yang ia dengar adalah suara setan yang ingin mencelakakan manusia, bukan suara dewa.

Tak jauh dari tebing, ada rombongan yang sedang menuju Desa Mo, yang akan melewati jalan yang sama dengan yang dilalui pemuda tersebut.

Friday, September 19, 2008

Pendahuluan

Alkisah di belahan timur, berdirilah sebuah kerajaan kecil yang makmur, yang bernama Kerajaan Tan. Kerajaan itu dipimpin oleh Raja Yun, seorang raja yang bijaksana dan menekuni ajaran Buddha.

Di kerajaan itu, hiduplah seorang Guru Agama Buddha yang bernama Zen. Guru Zen ini tinggal di sebuah biara bersama murid-muridnya, dan setiap hari beliau berkeliling mengajarkan Ajaran Buddha.